Krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997
disebabkan oleh fundamental ekonomi Indonesia yang rapuh. Kerapuhan tersebut
disebabkan oleh 3 faktor, pertama,
rapuhnya struktur fundamental perekonomian (seperti struktur ekonomi nasional
yang didominasi oleh kondisi pasar yang sarat dengan monopoli, oligopoli dan
kartel, lemahnya para pelaku ekonomi dalam organisasi/birokrasi, manajemen
dinosaurus, inefisiensi, distorsi tabungan dan investasi, serta kebijakan
pemerintah yang berubah-ubah, tidak konsisten, diskriminatif dan tidak
transparan. Kedua, Kerapuhan pada
pertumbuhan ekonomi. Hal ini disebabkan oleh tingkat pertumbuhan ekonomi selama
ini adalah semua semu karena bertumpu pada pijaman jangka pendek, bukan pada
peningkatan kemampuan teknologi dan inovasi. Oleh karena itu, kejatuhan rupiah
menyebabkan meningkatnya beban utang berjangka pendek dalam mata uang asing
(dolar AS). Ketiga, adanya neraca
transaksi berjalan yang defisit. Antara lain permasalahan perbankan, kredit
macet dan lain-lain, semuanya membawa dampak kepada peningkatan beban keuangan
yang menyebabkan distorsi pasar dan macetnya distribusi keuangan yang merupakan
darah bagi kehidupan roda ekonomi nasional.
Di sisi lain, krisis ekonomi disebabkan oleh
rapuhnya fundamental politik nasional yang dicirikan oleh keamanan dan
kesejahteraan (security and properity)
yang pelaksanaan pemerintahan berakibat kekuasaan presiden yang powerfull dan
melembaga dalam waktu lama, dan konsep good
governance pemerintahan yang tenggelam oleh banyaknya manipulasi, KKN, sert
penyimpangan kekuasaan (abused of power),
Serta pendekatan kepada masyarakat yang semakin melemah dalam praktek
pemerintahan dan pembangunan sehingga sebagian besar rakyat meras dirinya
sebagai kaum tertindas.
Krisis ekonomi dan
politik tersebut terus terakumulasi yang akhirnya berimbas kepada krisis
sosial. Adapun krisis sosial yang muncul di tengah masyarakat dapat
diidentifikasi menjadi beberapa bentuk :
1.
Krisis kepercayaan kepada
kepastian hukum
2.
Krisis identitas dan
persaudaraan berbangsa dan bernegara
3.
Krisis budaya dan etika