Merangkai kata untuk perubahan memang mudah. Namun, melaksanakan rangkaian kata
dalam bentuk gerakan terkadang teramat sulit. Dibutuhkan kecerdasan dan
keberanian untuk mendobrak dan merobohkan pilar-pilar korupsi yang menjadi
penghambat utama lambatnya pembangunan ekonomi nan paripurna di Indonesia.
Korupsi yang telah terlalu lama menjadi wabah yang tidak pernah kunjung
selesai, karena pembunuhan terhadap wabah tersebut tidak pernah tepat sasaran
ibarat “ yang sakit kepala, kok yang diobati tangan “. Pemberantasan korupsi
seakan hanya menjadi komoditas politik, bahan retorika ampuh menarik simpati.
Oleh sebab itu dibutuhkan kecerdasan masyarakat sipil untuk mengawasi dan
membuat keputusan politik mencegah makin mewabahnya penyakit kotor korupsi di
Indonesia. Tidak mudah memang.
2.1 Pengertian korupsi
Korupsi berasal dari bahasa latin corupto cartumpen yang
berarti; busuk atau rusak. Korupsi ialah prilaku buruk yang dilakukan pejabat
publik secara tadak wajar atau tidak legal untuk memparkaya diri sendiri.
Menurut perspektif hukum, pengertian korupsi secara gambling
dijelaskan dalam UU No 31 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana. Merupakan
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuanperaturan perundang-undangan
yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Pengertian “ korupsi “ lebih
ditekankan pada pembuatan yang merugikan kepentingan publik atau masyarakat
luas atau kepentingan pribadi atau golongan.
Korupsi
Kolusi dan Nepotisme (KKN) :
1. Korupsi yaitu menyelewengkan kewajiban yang
bukan hak kita.
2. Kolusi ialah perbuatan yang
jujur, misalnya memberikan pelican agar kerja mereka lancar, namun memberikannya secara sembunyi-senbunyi.
3. Nepotisme adalah mendahulukan orang dalam
atau keluarga dalam menempati suatu jabatan.
2.2 Dampak akibat adanya korupsi
Dampak
negative korupsi yang ditimbulkan akibat
korupsi yaitu menunjukkan tantangan serius terhadap pembangunan didalam
dunia politik , korupsi mempersulitr demokrasi dan tata pemerintahan yang baik
(good governance). Selain itu,
korupsi juga menyebabkan :
1.
Berkurangnya kepercayaan terhadap pemerintahan.
2.
Berkurangnya kewibawaan pemerintah dalam masyarakat.
3.
Menurunya pendapatan Negara.
4.
Hukum tidak lagi dihormati.
2.3 Strategi penanganan korupsi
1. Hilangkan
Remisi
Ini yang mengkhawatirkan kita semua.
Banyak koruptor kelas kakap yang sudah divonis hukuman penjara bertahun tahun
tiba tiba bisa melenggang bebas karena masa hukumannya sudah banyak dipotong
remisi ini itu. Mulai dari remisi hari raya keagamaan hingga kepada remisi yang
jatuh pada tanggal 17 Agustus setiap tahun. Jadi bisa jadi seorang koruptor
yang mendapat hukuman penjara 10 tahun lamanya misalnya, bisa dengan mudah
bebas dan menghirup udara segara dalam waktu yang tidak terlalu lama waktunya.
Secara ekstrim memang menyakiti hati kita, semua. Pemberian remisi bagi para
koruptor menurut pendapat banyak orang, sebaiknya distop, dikurangi, di atur
lagi sedemikian rupa hingga kepada usulan untuk dihapuskan sama sekali.
2. Hukuman
Berat.
Hukuman
yang akan dijatuhkan kepada para pelaku korupsi di Indonesia sebaiknya juga
memperhatikan faktor kemanusiaan dan tentunya faktor kemanusiaan yang dimaksud
memerlukan kehati hatian yang luar biasa. Bagaimana sebaiknya kita menghukum
para koruptor agar jera dan tidak melakukan kesalahan korupsi lagi setelah dia
dinyatakan bebas dan kembali kepada masyarakat. Orang perlu diberi kesempatan
ke 2 (dua) untuk bertobat.
3 Pengembalian
Kekayaan Negara
Selain para koruptor itu dihukum seberat beratnya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, maka jumlah harta dan kekayaan yang dirampok oleh para Koruptor harus dikembalikan sebanyak yang dia korupsi.
Selain para koruptor itu dihukum seberat beratnya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, maka jumlah harta dan kekayaan yang dirampok oleh para Koruptor harus dikembalikan sebanyak yang dia korupsi.
4. Penayangan
di TV
Wajah wajah para koruptor yang sudah mendapatkan kekuatan
hukum tetap, dan divonis bersalah oleh aparat penegak hukum, wajahnya
ditayangkan di televisi. Tentu akan menimbulkan efek malu yang luar biasa
terutama pada pelaku koruptor itu sendiri. Sebagian lagi juga banyak yang
mendukung program penayangan wajah koruptor di TV kembali diaktifkan seperti
dahulu dengan asumsi bahwa masyarakat Indonesia yang melihat tayangan wajah
koruptor di TV akan teringat, dan bisa melaporkan kepada aparat yang berwajib.
2.4
Beberapa faktor yang menyebabkan kasus-kasus korupsi di Indonesia sulit untuk diselesaikan
Ada beberapa faktor yang menyebabkan kasus-kasus korupsi di
Indonesia sulit untuk diselesaikan. Diantara faktor-faktor tersebut adalah
sebagai berikut;
1. Penyakit Kronis Bangsa Indonesia
Selama hampir lebih tiga puluh dua tahun rezim orde baru
berkuasa, dalam kurun masa itu penyakit dan virus korupsi berkembang subur.
Keberadaannya dilindungi dan dikembang biakkan. Pertumbuhan yang cukup lama ini
menyebabkan penyakit berbahaya ini menjangkiti hampir seluruh birokrasi
pemerintahan maupun non pemerintahan di Indonesia.
Dari
level tertinggi pejabat negara, sampai ke tingkat RT yang paling rendah.
Perkembangan yang cukup subur ini berlangsung selama puluhan tahun. Akibatnya
penyakit ini telah menjangkiti sebagian generasi yang kemudian diturunkan ke
generasi berikutnya. Oleh sebab itu, salah satu cara untuk memutuskan rantai
generasi korupsi adalah dengan menjaga kebersihan generasi muda dari jangkitan
virus korupsi.
2. Sistem Penegakan Hukum yang
Lemah
Indonesia memiliki banyak sekali undang-undang dan landasan
hukum yang mengatur tentang pelarangan penyakit korupsi, kolusi dan nepotisme.
Isi dan kandungan undang-undang tersebut bisa saja diubah sewaktu-waktu untuk
menyesuaikan dengan kondisi yang ada. Yang menjadi persoalan sekarang adalah
para penegak hukum itu sendiri. Munculnya istilah mafia hukum merupakan bukti
kerendahan mental para penegak hukum di Indonesia. Lagi-lagi karena pengaruh
budaya korupsi yang sudah cukup kronis menjangkiti Indonesia. Para petugas
hukum yang ditugaskan untuk mengadili para koruptor alih-alih malah menerima
amplop dari para koruptor. Ditugaskan menjadi petugas malah menggadaikan
diri menjadi koruptor. Inilah hal miris yang kerap dialami disetiap penanganan kasus-kasus
korupsi di Indonesia. Bagaimana mungkin seorang petugas hukum akan tegas
memberikan hukuman pada koruptor, kalau dirinya sendiri ternyata juga seorang
koruptor.
2.5 Beberapa contoh kasus korupsi di Indonesia
1. Kasus
Soeharto Bekas presiden Soeharto diduga melakukan tindak korupsi di tujuh
yayasan (Dakab, Amal Bakti Muslim Pancasila, Supersemar, Dana Sejahtera
Mandiri, Gotong Royong, dan Trikora) Rp 1,4 triliun. Ketika diadili di
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, ia tidak hadir dengan alasan sakit. Kemudian
majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengembalikan berkas tersebut
ke kejaksaan. Kejaksaan menyatakan Soeharto dapat kembali dibawa ke pengadilan
jika ia sudah sembuh?walaupun pernyataan kejaksaan ini diragukan banyak kalangan.
2. Dugaan
korupsi dalam Tecnical Assintance Contract (TAC) antara Pertamina dengan PT
Ustaindo Petro Gas (UPG) tahun 1993 yang meliputi 4 kontrak pengeboran sumur
minyak di Pendoko, Prabumulih, Jatibarang, dan Bunyu. Jumlah kerugian negara,
adalah US $ 24.8 juta.
3. Tahun
1993, pembobolan yang terjadi di Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo) dilakukan
oleh Eddy Tanzil yang hingga saat ini tidak ketahuan dimana rimbanya, Negara
dirugikan sebesar 1.3 Triliun.
4. Kasus
HPH dan Dana Reboisasi Hasil audit Ernst & Young pada 31 Juli 2000 tentang
penggunaan dana reboisasi mengungkapkan ada 51 kasus korupsi dengan kerugian
negara Rp 15,025 triliun (versi Masyarakat Transparansi Indonesia). Yang
terlibat dalam kasus tersebut, antara lain, Bob Hasan, Prajogo Pangestu,
sejumlah pejabat Departemen Kehutanan, dan Tommy Soeharto.
5. Kasus
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Kasus BLBI pertama kali mencuat ketika
Badan Pemeriksa Keuangan mengungkapkan hasil auditnya pada Agustus 2000.
Laporan itu menyebut adanya penyimpangan penyaluran dana BLBI Rp 138,4 triliun
dari total dana senilai Rp 144,5 triliun. Di samping itu, disebutkan adanya
penyelewengan penggunaan dana BLBI yang diterima 48 bank sebesar Rp 80,4
triliun.