Dengan adanya otonomi daerah, muncul paradigma baru dalam pengelolaan
daerah, dimana pengelolaan kabupaten/kota harus dilakukan secara profesional
selayaknya perusahaan yang berbentuk holding
company. Aset Pemda baik berupa BUMD maupun kekayaan alam lainnya harus
dikelola seperti pengelolaan perusahaan swasta dengan fokus pada optimalisasi
profit, disamping aspek sosial sebagai public
good tetap harus diperhatikan dari sisi yang lain. Pengelolaan aset ini
mengarah pada privatisasi karena dengan ini aset Pemda benar-benar dapat
dioptimalkan.
1. Teori dan praktek privatisasi di Inggris
Chartered Institute of Public Finance and Accountancy (CIPFA) dan Audit
Commision (AC) dari Inggris dalam teorinya Strategic Management menerapkan dua
prinsip yaitu :”VFM test” (value for
money test) dan “3 E’s” (economic,
effective and efficient) pada pengelolaan aset agar mengarah pada
privatisasi. Pengelolaaan aset disini disamakan dengan pengelolaan bisnis pada
umumnya dimana dengan input yang
sesedikit mungkin diperoleh hasil tertentu, atau dengan input tertentu diperoleh hasil yang sebesar-besarnya. Hal ini
sewjalan dengan prinsip-prinsip ekonomi. Juga dilakukan efisiensi terhadap
biaya operasional pengelolaan aset sehingga benar-benar efisien dan penggunaan
properti benar-benar sesuai dengan tujuannya (efektif).
Pengelolaan aset disini juga diarahkan pada kapitalisasi sebagai penerapan
dari prinsip “income producing land and property”atau “valu for money” sudah menjadi pertimbangan utama. Good management is defined in terms of the
initiatives –in this instance the audit and review- that nor only allow the
measurement of land and property in terms of ‘monetery value’, but which also
lead to the ‘minimum’ amount of expenditure of the management of related good and services.
Strategic management yang mengarah pada privatisasi tersebut pada era 1990-an telah berhasil
mengangkat Inggris ekonomi dan sekaligus meletakkan pondasi baru bagi
pembangunan ekonomi Inggris.
2. Pentingnya Kejelasan Mengenai Privatisasi
untuk Mengurangi Pro dan Kontra yang Menghambat Program Privatisasi
Pro kontra dalam privatisasi, disamping disebabkan karena kegagalan
pelaksanaan privatisasi, juga disebabkan pengetahuan yang minim tentang
privatisasi itu sendiri.
2.1. Sejarah Privatisasi
Sejarah privatisasi diawali munculnya paham neoliberal yang dimotori oleh
Friedrich Von Hayek dan Milton Friedman, dimana paham ini menumbangkan teori
Keynes yang mengutamakan campur tangan pemerintah. Bagi kaum neoliberal,
regulator penting dalam kehidupan ekonomi adalah pasar dan bukan pemerintah.
Mekanisme pasar akan diatur oleh persepsi individu, serta pengetahuan para
individu akan dapat memecahkan kompleksitas ketidakpastian ekonomi. Teori
privatisasi berasal dari Inggris pada masa pemenrintahan Margaret Thatcher.
2.2. Pelaksanaan
Privatisasi di Indonesia
Pro dan Kontra privatisasi terjadi akrena kegagalan dalam pelaksanaan
privatisasi misalnya pelaksanaan privatisasi pada tahun 2001 dimana target
privatisasi tidak tercapai, padahal targetnya cukup realistis sebagai contoh,
nilai aset Telkom mencapai Rp 30 Triliun, bila laku terjual 10% saja sudah bisa
terkumpul Rp 3 triliun.
Melihat target yang realistis namun tidak tercapai, ditengarai ada yang
salah dari pelaksanaan proses privatisasi. Kegagalan tersebut diakibatkan oleh:
1. Waktu itu belum ada dasar hukum yang jelas dalam melakukan privatisasi
(belum jelasnya UU BUMN yang mengatur tentang privatisasi)
2. Banyaknya intervensi kepentingan politik dalam
kebijakan privatisasi di BUMN;
3. Kurang kondusifnya pasar modal di Indonesia;
4. Proses privatisasi tidak dilakukan secara
selektif, transparan dan akuntabilitasnya rendah;
5. Belum
diterapkannya teori privatisasi secara benar;
2.3. Karakteristik, Klasifikasi dan Metode
Pelaksanaan Privatisasi
Klasifikasi pengelompokan Usaha BUMN di Indonesia menurut Bank Dunia adalah
sebagai berikut :
a. Kelompok perusahaan yang menjual dan memproduksi barang-barang secara pasar
bebas;
b. Kelompok perusahaan yang
mengelola infrastruktur;
c. Perusahaan pelayanan publik
Pembagian BUMN secara lebih jelas
dapat dirinci sebagai berikut :
a. Kelompok perusahaan yang memproduksi barang yang laku dijual seperti pupuk,
semen, kertas;
b. Kelompok perusahaan yang
tergolong bersifat strategis (BPIS) seperti PT. DI, PT. PAL, PT. PINDAD dan
sebagainya;
c. Kelompok perusahaan yang
mengelola infrastruktur: PT. Telkom, PLN, Bandar Udara dan Pelabuhan Laut,
Perusahaan Transportasi, PDAM, Perusahaan Daerah Persampahan;
d. Perusahaan-perusahaan jasa
pelayanan publik seperti bank dan institusi moneter lainnya, penerbangan,
retail.
Metodologi privatisasi yang paling
umum diterapkan adalah :
a. Initial Public Offering (IPO)
Privatisasi ini adalah dengan jalan go
public. “Option” ini cukup relevan untuk diterapkan di Indonesia. Dalam
konteks IPO ini, yang paling penting dipenuhi adalah laporan kondisi keuangan
dari BUMN itu sendiri. BUMN yang akan go
public harus disehatkan terlebih dulu, antara lain dengan restrukturisasi.
b. Private Placement /Trade Sales
Metode ini sering diterapkan dalam suatu kondisi BUMN yang tengah
mengalami pembenahan kinerja operasionalnya, atau tengah memerlukan modal bagi
pengembangan dalam rangka memenuhi tuntutan pasar. Dalam hal ini BUMN
membutuhkan perbaikan teknologi, perbaikan manajemen dan suntikan modal.
c. Metode-metode lainnya yaitu Joint Venture dan Private Sector
participation in infra structure.
3. Tantangan bagi Seorang CEO yang
Memasuki Dunia Birokrasi
Seorang yang sudah berpola pikir chief
executive officer (CEO) tidak mudah memasuki dunia birokrasi, sebab pola
pikir CEO yang sudah terbiasa cepat, inovatif, dan fleksibel harus memasuki
dunia yang serba birokratis sehingga berkesan lambat, konservatif dan kaku.
Lingkungan birokrasi yang cenderung mengedapnkan wewenang untuk mencapai
sesuatu, sangat lain dengan dunia swasta yang mengedepankan profesionalisme.
Repotnya lagi terjadinya KKN antara birokrasi yang menjual wewenangnya dan
swasta yang kurang profesional.
Profesionalisme, dimana segala sesuatu diukur secara obyektif, fair dan
terukur, merupakan nilai yang dijunjung tinggi oleh para profesional. Ada
beberapa alternatif jabatan birokrasi
seperti walikota dan bupati dijabat seorang yang berpola fikir CEO, yaitu :
3.1.CEO’s yang
berasal dari kalangan profesional
Seorang profesional yang masuk dalam birokrasi harus seorang yang spesial
bukan sekedar seorang profesional, melainkan juga sosok yang mempunyai komitmen
moral terhadap bangsanya, sehingga apapun yang dihadapi akan tetap bertahan
demi komitmennya tersebut.
3.2.CEO’s yang berasal dari kalangan wiraswasta
Keunggulan dari kalangan ini adalah
bahwa mereka lebih ulet, karena bila tidak ulet mereka tidak akan sanggup
menjadi pengusaha/ wiraswastawan besar. Bila yang dipilih dari kalangan ini,
sebaiknya dipilih seorang pengusaha yang memulai usahanya dari kecil, bukan
mereka yang ber karena pemrintah atau KKN.
3.3.CEO’s yang berasal dari kalangan birikrasi
sendiri
Kalangan boirokrasi bukannya tidak bisa untuk
dilatih berpola pikir CEO. Mereka justru mempunyai kelebihan pengalaman di
dunia birokrasi, sehingga bila dapat bersikap profesional seperti seorang CEO
maka dapat dikatakan ilmunya sudah lengkap untuk mengelola daerahnya secara
optimal.